Rabu, 18 September 2013

Mikroemulsi Dalam Pangan

  1. Mikroemulsi Dalam Pangan
Mikroemulsi, nanoemulsi dan emulsi merupakan delivery system koloid karena dengan mudah dibuat bahan dari food grade menggunakan proses yang relatif sederhana, seperti pencampuran, pengadukan dan homogenisasi. Masing-masing delivery system koloid memiliki sifat fisikokimia yang spesifik yang dapat memberikan keuntungan atau kerugian dalam aplikasinya.
Mikroemulsi adalah sistem termodinamika stabil yang biasanya terdiri dari minyak, surfaktan (kadang-kadang co-surfaktan / co-pelarut),dan air. (Flanagan & Singh, 2006). Mikroemulsi memiliki ukuran partikel relatif kecil (r < 50 nm) dibandingkan dengan panjang gelombang cahaya yang berarti bahwa mikroemulsi hanya menghamburkan cahaya lemah dan transparan atau sedikit keruh.(Lesmes & McClements, 2009). Mikroemulsi lebih mudah dipersiapkan daripada nanoemulsi dan emulsi, namun mikroemulsi membutuhkan lebih tinggi konsentrasi surfaktan. Nanoemulsi adalah termodinamika sistem yang tidak stabil, biasanya terdiri dari minyak, surfaktan, dan air. (Mason, Wilking, Meleson, Chang, & Graves, 2006; Nanoemulsi juga memiliki ukuran partikel yang kecil (r < 100 nm) dan sehingga cenderung untuk menjadi transparan atau hanya sedikit keruh. Seperti nanoemulsi. Mikroemulsi dan nanoemulsi mendapatkan perhatian khusus karena berpotensi memiliki keunggulan dibandingkan jenis lain dari delivery system koloid untuk aplikasi tertentu, dikarenakan memiliki kelebihan : kejelasan optik tinggi, stabilitas fisik yang baik; dan bioavailabilitas yang lebih baik.
Mikroemulsi telah menarik minat banyak peneliti selama beberapa tahun terkahir ini sebagai “delivery system yang potensial karena sifat transparansinya ,kemudahan dalam menyiapkannya dan stabilitas jangka panjang (Kreilgaard, 2002). Selain itu, diameter mikroemulsi adalah kurang dari 200 nm, yang menunjukkan bahwa efek skala nano dari mikroemulsi akan meningkatkan penetrasi ke dalam atau penyerapan oleh sel. Mikroemulsi merupakan formulasi campuran air, minyak dan surfaktan serta memiliki keuntungan menjadi optik isotropik dan termodinamika stabil. Mikroemulsi juga menggunakan surfaktan campuran yang dapat mengurangi tegangan permukaan antara minyak dan air ketika mempersiapkan mikroemulsi. Banyak perhatian baru-baru ini telah diberikan kepada pemanfaatan fosfolipid dalam formulasi mikroemulsi dalam bidang farmasi (Magdassi dan Siman-Tov, 1990).
Pilihan surfaktan sangat penting untuk formulasi dari mikroemulsi. Jumlah hidrofilik-lipofilik (HLB) surfaktan dapat disesuaikan dengan alkohol rantai pendek, atau penambahan surfaktan non-ionik untuk menyiapkan mikroemulsi yang stabil. Lecithin yang memiliki dua rantai hidrokarbon panjang, adalah utama komponen bilayers lipid membran sel dan amphiphile alam hayati. Selain itu, dalam banyak hal dianggap sebagai surfaktan biologis ideal karena biodegradable, dapat digunakan untuk berbagai keperluan. Pemilihan yang seksama tentang aditif dapat membantu menyesuaikan dengan tepat keseimbangan hidrofilik-lipofilik. (HLB). Penelitian terbaru telah mengindikasikan bahwa fosfatidilkolin dalam sistem mikroemulsi transmembran memiliki ketersediaan hayati yang baik di kulit tikus dan sel CaCO-2. (Spernath, Aserin,Sintov, dan Garti, 2008).
Di bidang nutraceuticals dan makanan fungsional, telah terjadi perkembangan dalam memanfaatkan kelebihan dari mikroemulsi dalam memecahkan masalah kelarutan serta stabilitas nutraceuticals dan makanan aditif dalam larutan air. Teknik-teknik dan aplikasi nanopartikel dalam sistem nutraceutical pengiriman telah dibahas dan dikaji secara signifikan selama beberapa tahun terakhir (Flanagan & Singh, 2006). Penelitian terbaru dalam mikroemulsi makanan telah berfokus menggunakan food grade, non-ionik berasal dari produk alami (Garti, Yaghmur, Leser, Clement, dan Watzke, 2001). Solubilisasi derivatif likopen dan lutein dalam media air telah berhasil ditingkatkan. Pemanfaatan lesitin berbasis mikroemulsi dengan beberapa konsentrasi surfaktan dalam aplikasi makanan telah dipelajari (Flanagan dan Singh, 2005).
Pembuatan Mikroemulsi
Menurut Flanagan and Singh (2006), pembentukan mikroemulsi dapat dilakukan dengan 3 metode, yaitu metode emulsifikasi, metode PIT (phase inversion temperature) dan metode homogenisasi tekanan tinggi. Metode emulsifikasi dapat dilakukan dengan menambahkan air pada campuran surfaktan-air, menambahkan minyak pada campuran surfaktan-air atau dengan mencampurkan ketiga komponen (minyak, air, surfaktan) bersama-sama, pada metode ini mikroemulsi terbentuk spontan. Metode PIT digunakan jika memakai surfaktan nonionik yang terethoksilasi. Ketika emulsi o/w dengan surfaktan non-ionik terethoksilasi dipanaskan pada suhu kritis yang merupakan PIT, emulsi tersebut akan berubah menjadi emulsi w/o. Metode homogenisasi tekanan tinggi tidak efesien karena panas yang dilepaskannya selama homogenisasi.
Cho, et al., (2008) membuat mikroemulsi tanpa kosurfaktan dengan cara mencampurkan fase minyak dengan surfaktan dengan magnetic stirer, selanjutnya dicampur dengan fase air dengan homogenisasi pada 9000 rpm diiikuti homogenisasi 13500 rpm selama 15 menit menggunakan homogenizer ultraturak, homogenisasi dilakukan pada suhu 70˚C, selanjutnya mikroemulsi diinkubasi pada suhu ambient selama 24 jam sehingga tercapai keseimbangan. Beberapa penelitian lain seperti Zhang, et al., (2008) membuat mikroemulsi dengan mencampurkan surfaktan dengan fase minyak (dengan atau tanpa alkohol sebagai kosurfaktan) selanjutnya dititrasi dengan fase minyak. Tahap terakhir adalah inkubasi pada suhu ambient selama kurun waktu tertentu sampai terjadi kesetimbangan. Penentuan proporsi fase air : fase minyak dan proporsi surfaktan yang digunakan didasarkan pada diagram tiga fase (pseudoternary phase diagram) yang memberikan kenampakan transparan dan nilai turbiditas rendah.
Mikroemulsi w/o akan terbentuk jika tegangan antarmuka negatif, sedangkan mikroemulsi o/w akan terbentuk jika tegangan antarmuka nol atau positif. Selama proses pembentukan mikroemulsi, selama satu fase terpisah menjadi droplet ukuran berukuran maksimum, diameter dari droplet tergantung pada area tegangan antarmuka yang dibentuk molekul surfaktan. Tegangan antarmuka dapat menjadi nol namun bersifat sementara disebabkan adanya difusi alkohol kepermukaan. Mikroemulsi secara spontan dapat terbentuk jika mempunyai tegangan antarmuka 10-4 ke 10-5 dynes/cm. Selain tegangan antarmuka, pembentukan mikroemulsi juga sangat tergantung pada fase penambahan komponen dilakukan. (Sharma dan Shah, 1985).
Mikroemulsi juga dapat dibuat dengan metode emulsifikasi energi rendah dengan menambahkan fase air pada campuran surfaktan dengan fase minyak dengan cara titrasi dan diseimbangkan dengan inkubasi pada suhu 25˚C selama 24 jam. (Cho, et al, 2008)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Parameter Dasar Analisa Minyak dan Lemak

Parameter Dasar Analisa Minyak dan Lemak 1)        Free Fatty   Acid  (FFA) Free Fatty Acid  (FFA)/ asam lemak jenuh merupakan produk yang d...