- Mikroemulsi Dalam Pangan
Mikroemulsi,
nanoemulsi
dan
emulsi
merupakan
delivery
system
koloid
karena
dengan mudah
dibuat
bahan
dari
“food
grade”
menggunakan
proses
yang relatif sederhana, seperti
pencampuran,
pengadukan
dan
homogenisasi.
Masing-masing
delivery
system
koloid
memiliki
sifat
fisikokimia
yang
spesifik
yang
dapat
memberikan
keuntungan
atau kerugian
dalam
aplikasinya.
Mikroemulsi
adalah
sistem
termodinamika
stabil
yang
biasanya
terdiri
dari minyak,
surfaktan
(kadang-kadang
co-surfaktan
/
co-pelarut),dan
air.
(Flanagan & Singh, 2006).
Mikroemulsi
memiliki
ukuran partikel relatif
kecil
(r <
50
nm)
dibandingkan dengan panjang
gelombang
cahaya
yang
berarti bahwa mikroemulsi
hanya menghamburkan cahaya lemah
dan
transparan atau sedikit keruh.(Lesmes
& McClements, 2009). Mikroemulsi
lebih mudah dipersiapkan
daripada
nanoemulsi
dan
emulsi, namun mikroemulsi
membutuhkan lebih tinggi konsentrasi surfaktan. Nanoemulsi adalah
termodinamika
sistem
yang tidak stabil,
biasanya terdiri dari minyak, surfaktan, dan air.
(Mason,
Wilking,
Meleson, Chang, & Graves, 2006;
Nanoemulsi
juga memiliki ukuran partikel yang kecil (r <
100
nm) dan
sehingga
cenderung untuk menjadi transparan atau hanya sedikit keruh. Seperti
nanoemulsi.
Mikroemulsi
dan
nanoemulsi
mendapatkan
perhatian khusus karena berpotensi
memiliki
keunggulan
dibandingkan jenis lain dari delivery
system
koloid
untuk
aplikasi tertentu,
dikarenakan memiliki kelebihan :
kejelasan optik tinggi, stabilitas fisik yang baik;
dan
bioavailabilitas yang lebih
baik.
Mikroemulsi
telah menarik minat banyak peneliti selama beberapa
tahun
terkahir ini
sebagai “delivery
system”
yang
potensial
karena sifat
transparansinya
,kemudahan
dalam menyiapkannya
dan stabilitas jangka panjang (Kreilgaard,
2002).
Selain itu, diameter
mikroemulsi adalah kurang
dari
200 nm, yang menunjukkan bahwa efek skala nano dari mikroemulsi
akan
meningkatkan penetrasi ke dalam atau penyerapan
oleh
sel. Mikroemulsi merupakan
formulasi
campuran air, minyak
dan
surfaktan serta
memiliki keuntungan menjadi optik isotropik
dan
termodinamika stabil. Mikroemulsi
juga
menggunakan surfaktan campuran
yang
dapat mengurangi tegangan permukaan antara minyak dan
air
ketika mempersiapkan mikroemulsi. Banyak perhatian baru-baru ini
telah
diberikan kepada pemanfaatan fosfolipid dalam formulasi
mikroemulsi dalam
bidang farmasi
(Magdassi dan
Siman-Tov,
1990).
Pilihan
surfaktan sangat penting untuk formulasi
dari
mikroemulsi. Jumlah
hidrofilik-lipofilik (HLB)
surfaktan
dapat disesuaikan dengan alkohol rantai pendek, atau penambahan
surfaktan non-ionik untuk menyiapkan
mikroemulsi yang stabil.
Lecithin
yang memiliki dua
rantai
hidrokarbon
panjang,
adalah utama
komponen
bilayers
lipid
membran
sel
dan
amphiphile
alam
hayati.
Selain
itu,
dalam
banyak hal
dianggap
sebagai
surfaktan
biologis
ideal
karena
biodegradable,
dapat
digunakan
untuk
berbagai keperluan.
Pemilihan
yang seksama tentang
aditif
dapat
membantu
menyesuaikan
dengan
tepat
keseimbangan
hidrofilik-lipofilik.
(HLB).
Penelitian
terbaru
telah
mengindikasikan bahwa
fosfatidilkolin
dalam
sistem
mikroemulsi
transmembran
memiliki
ketersediaan
hayati
yang
baik
di
kulit
tikus
dan
sel
CaCO-2.
(Spernath, Aserin,Sintov, dan Garti, 2008).
Di
bidang
nutraceuticals
dan
makanan
fungsional,
telah terjadi
perkembangan
dalam
memanfaatkan
kelebihan
dari
mikroemulsi
dalam
memecahkan
masalah
kelarutan
serta
stabilitas
nutraceuticals
dan
makanan
aditif
dalam
larutan air.
Teknik-teknik
dan
aplikasi
nanopartikel
dalam
sistem
nutraceutical
pengiriman
telah
dibahas
dan
dikaji
secara
signifikan selama
beberapa
tahun terakhir
(Flanagan
&
Singh,
2006). Penelitian
terbaru
dalam
mikroemulsi
makanan
telah
berfokus menggunakan
food
grade,
non-ionik
berasal
dari produk
alami
(Garti,
Yaghmur,
Leser,
Clement, dan
Watzke,
2001). Solubilisasi
derivatif
likopen
dan
lutein
dalam
media air
telah
berhasil
ditingkatkan.
Pemanfaatan
lesitin
berbasis
mikroemulsi
dengan
beberapa konsentrasi
surfaktan
dalam
aplikasi
makanan
telah
dipelajari
(Flanagan
dan
Singh,
2005).
Pembuatan
Mikroemulsi
Menurut Flanagan and
Singh (2006), pembentukan mikroemulsi dapat dilakukan dengan 3
metode, yaitu metode emulsifikasi, metode PIT (phase
inversion temperature)
dan metode homogenisasi tekanan tinggi. Metode emulsifikasi dapat
dilakukan dengan menambahkan air pada campuran surfaktan-air,
menambahkan minyak pada campuran surfaktan-air atau dengan
mencampurkan ketiga komponen (minyak, air, surfaktan) bersama-sama,
pada metode ini mikroemulsi terbentuk spontan. Metode PIT digunakan
jika memakai surfaktan nonionik yang terethoksilasi. Ketika emulsi
o/w dengan surfaktan non-ionik terethoksilasi dipanaskan pada suhu
kritis yang merupakan PIT, emulsi tersebut akan berubah menjadi
emulsi w/o. Metode homogenisasi tekanan tinggi tidak efesien karena
panas yang dilepaskannya selama homogenisasi.
Cho, et al., (2008)
membuat mikroemulsi tanpa kosurfaktan dengan cara mencampurkan fase
minyak dengan surfaktan dengan magnetic stirer, selanjutnya dicampur
dengan fase air dengan homogenisasi pada 9000 rpm diiikuti
homogenisasi 13500 rpm selama 15 menit menggunakan homogenizer
ultraturak, homogenisasi dilakukan pada suhu 70˚C, selanjutnya
mikroemulsi diinkubasi pada suhu ambient selama 24 jam sehingga
tercapai keseimbangan. Beberapa penelitian lain seperti Zhang, et
al., (2008) membuat mikroemulsi dengan mencampurkan surfaktan dengan
fase minyak (dengan atau tanpa alkohol sebagai kosurfaktan)
selanjutnya dititrasi dengan fase minyak. Tahap terakhir adalah
inkubasi pada suhu ambient selama kurun waktu tertentu sampai terjadi
kesetimbangan. Penentuan proporsi fase air : fase minyak dan proporsi
surfaktan yang digunakan didasarkan pada diagram tiga fase
(pseudoternary phase diagram) yang memberikan kenampakan transparan
dan nilai turbiditas rendah.
Mikroemulsi w/o akan
terbentuk jika tegangan antarmuka negatif, sedangkan mikroemulsi o/w
akan terbentuk jika tegangan antarmuka nol atau positif. Selama
proses pembentukan mikroemulsi, selama satu fase terpisah menjadi
droplet ukuran berukuran maksimum, diameter dari droplet tergantung
pada area tegangan antarmuka yang dibentuk molekul surfaktan.
Tegangan antarmuka dapat menjadi nol namun bersifat sementara
disebabkan adanya difusi alkohol kepermukaan. Mikroemulsi secara
spontan dapat terbentuk jika mempunyai tegangan antarmuka 10-4
ke 10-5
dynes/cm. Selain tegangan antarmuka, pembentukan mikroemulsi juga
sangat tergantung pada fase penambahan komponen dilakukan. (Sharma
dan Shah, 1985).
Mikroemulsi juga
dapat dibuat dengan metode emulsifikasi energi rendah dengan
menambahkan fase air pada campuran surfaktan dengan fase minyak
dengan cara titrasi dan diseimbangkan dengan inkubasi pada suhu 25˚C
selama 24 jam. (Cho, et al, 2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar